Sekretariat: AJI Bandung - Kayuagung I nomor A3-A, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung 40264
Ketua : Iqbal T. Lazuardi
Sekretaris : Ery Chandra

Dari Sindikat ke Jurnalis Independen
Catatan Pendirian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung
Setelah berbulan-bulan ngobrol yang tak ada ujung pangkalnya, beberapa jurnalis muda Bandung ingin berserikat. Mereka ingin memiliki wadah untuk belajar, berbagai pengalaman, dan memberi bantuan jika menghadapi masalah. Pada 14 Juni 2002, mereka menamakan dirinya “Sindikat Jurnalis Muda Berbakat”. Sejak itu pembicaraan terus dilakukan sambil melakukan berbagai kampanye. Mulai dari Anti Amplop hingga Kesejahteraan Jurnalis. Sindikat itu juga melakukan pendekatan ke berbagai kalangan. Pers mahasiswa menjadi salah satu elemen yang didekati. Selain itu para jurnalis senior juga diajak berdiskusi. Hingga memutuskan untuk bergabung dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Mulai saat itu pada anggota sindikat mulai melacak jejak keberadaan AJI di Bandung. Forum Wartawan Independen (FOWI) Bandung merupakan salah satu elemen pendiri AJI. Sehingga komunikasi dengan para pegiat FOWI dilakukan. Dari sana diketahui bahwa beberapa jurnalis Bandung sempat merintis pendirian AJI Kota Bandung. Agar tidak menimbulkan masalah di kemuan hari, komunikasi dengan pengurus AJI Indonesia dan para perintis AJI Kota Bandung terus dilakukan.
Pada 16 Juni 2002 dilakukan pertemuan di Toko Buku Kecil di Jalan Dago. Pertemuan itu untuk merintis jalan pendirian AJI Bandung. Hasilnya perlum merapatkan barisan dan menambah kekuatan. Dalam hal ini memperbanyak jurnalis Bandung untuk bergabung dengan sindikat.
Berbagai diskusi di beberapa kantor media hingga kampus terus dilakukan. Pembentukan AJI di Bandung bukan untuk mengibarkan bendera peperangan dengan siapapun. “Kalau bukan qta yang muda yang memberi warna, lantas siapa??? Sudah cukup atmosfer amplop menyelubung di dunia pers Bandung, khususnya dari ruang-ruang humas instansi yang membudayakannya,” papar Bobby Gunawan pada beberapa kesempatan.
Minggu 21 Juli 2002, pertemuan kembali digelar. Pertemuan di Jalan Gajah No. 21 itu menghasilkan tim perumus yang akan bekerja hingga terbentuknya kepengurusan AJI Kota Bandung. Tim terdiri atas Alfred Pasifico Ginting, Ari Suryadinata, Asep Saefullah, Laban Abraham, dan Rana Akbari Fitriawan.
Pada 28 Juli 2002, 11 jurnalis bertemu di Trimatra. Mereka berdiskusi seputar kesejahteraan jurnalis. ternyata, kesejahteraan jurnalis itu cukup bias juga batasannya. Ujung-ujungnya, para jurnalis harus punya daya tawar bagi pemilik atau pihak manajemen media. Muncul juga wacana, jurnalis itu profesi atau buruh. Kalau buruh, di Bandung itu upah minimumnya Rp. 471.000,00 dengan 8 jam kerja setiap hari.
Selasa, 30 juli 2002 pukul 19.00 WIB di BRI Tower tim perumus berkumpul. Dari kesempatan ini muncul ide iuran anggota untuk amunisi pendirian AJI Bandung. Menjelang Deklarasi AJI Bandung digelar Silaturahmi Jurnalis Bandung yang akan digelar 11 Agustus 2002. Sejak itu undangan disebar ke berbagai kantor media dan para jurnalis di Bandung.
Hingga belasan jurnalis Bandung bertekad untuk mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Bandung dan mendeklarasikan secepatnya. Tekad ini mencuat setelah mereka berkumpul dan berdiskusi pada acara silaturahmi jurnalis Bandung, Minggu 11 Agustus 2002 di Pendopo Toko Buku Kecil (Trimatra Centre), Jl. Ir. H Juanda 139A Bandung.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh anggota AJI Indonesia Stanley, Has, Bimo dan Donny itu, para jurnalis mempertanyakan keberadaan AJI di kota Bandung yang sampai saat ini belum terbentuk. Padahal, sejarah mencatat bahwa Forum Wartawan Independen (FOWI) Bandung merupakan salah satu organisasi wartawan yang turut membidani lahirnya AJI selain Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta (FDWY), Surabaya Press Club (SPC) dan Solidaritas Jurnalis Independen (SJI) Jakarta.
Terungkap dalam diskusi itu, upaya untuk membentuk AJI di kota Bandung sebenarnya sudah beberapa kali dilakukan, misalnya pada tahun 2000 lalu. Menurut M. Nasir, Kepala Biro harian Kompas daerah Jawa Barat yang juga merupakan salah satu perintis pembentukan AJI di Bandung, upaya itu dilakukan oleh beberapa orang jurnalis—diantaranya dari Tempo—dengan membentuk tim kecil. Namun entah mengapa, upaya itu lambat laun terbawa angin lalu alias tidak ada kelanjutannya. “Saya tidak tahu persis kenapa. Mungkin para perintis itu tidak berani,” tuturnya.
Senada dengan Nasir, Stanley menyatakan bahwa AJI Indonesia telah cukup lama mendengar upaya pembentukan AJI oleh para jurnalis Bandung. Namun, jika sampai saat ini upaya itu belum juga dapat direalisasikan, menurut Stanley hanya wartawan Bandung yang tahu. “Banyaknya wartawan Bandung yang hijrah ke Jakarta mungkin menjadi salah satu penyebabnya,” tutur Stanley. Hal ini, tambahnya, menyebabkan kaderisasi dan reorganisasi di Bandung menjadi lambat bahkan nyaris tidak ada.
Karena itu, Stanley menyambut baik keinginan para jurnalis muda untuk segera mendirikan AJI di Bandung. “Kumpulkan semua teman yang satu visi untuk mendirikan AJI, setelah itu rumuskan apa saja yang menjadi kebutuhan teman-teman di Bandung,” ujarnya mengusulkan. Jumlah anggota, menurut Stanley, tidak penting. “Yang penting solid,” ujarnya yang segera diiyakan oleh rekannya, Has.
Menyinggung soal senioritas, Stanley menganjurkan agar jurnalis muda Bandung tidak terlalu sentimentil. Apalagi tambahnya, upaya mendirikan AJI di Bandung bukan menjadi ajang romantisme nostalgia yang penuh dengan kenangan masa lalu. Stanley mencontohkan hal yang sama di Jakarta. Menurutnya, para perintis AJI di Jakarta pun banyak yang sudah tidak mungkin lagi turun aktif mengurusi organisasi, kecuali pada acara-acara tertentu saja. “Karena itu, lupakan senioritas!” tegasnya.
Menyambut antusiasme dan semangat jurnalis muda Bandung yang ingin segera mendirikan AJI, Stanley mengajukan tiga konsep yang dapat dipilih. Konsep pertama, usul Stanley, beberapa jurnalis muda Bandung terlebih dahulu menjadi anggota AJI Indonesia, setelah itu mereka mengajukan usulan ke Jakarta untuk membentuk kepengurusan di tingkat kota. Konsep kedua, para wartawan muda Bandung yang sudah memiliki visi yang sama dengan AJI, bersama-sama mendeklarasikan niatnya dan menyatakan bersedia untuk menjadi anggota AJI. “Sedangkan untuk alternatif ketiga, Anda semua dapat segera membentuk kepengurusan dan mengajukannya ke AJI Indonesia,” ujarnya.
Adapun untuk masalah-masalah teknis lainnya, Stanley mengusulkan agar Bandung dapat berkomunikasi secara intensif dengan orang-orang dari AJI Indonesia. “Setahu saya, Afnan Malay mendapat wewenang dari AJI Indonesia untuk memonitor perkembangan rencana (pembentukan AJI Bandung) ini,” tuturnya.
Setelah diskusi tersebut semangat jurnalis muda Bandung untuk mendirikan AJI semakin berkobar. Pada 13 Agustus 2002 undangan Deklarasi AJI Bandung disebar. Deklarasi sendiri diagendakan berlangsung 18 Agustus 2002 di Pendopo Toko Buku Kecil. Hingga terkumandang Deklarasi pendirian AJI Bandung pada 18 Agustus 2002 pukul 16.00 WIB.
Deklarasi Bandung Untuk Independensi Jurnalis
Kami, yang berhimpun saat ini adalah sebagian jurnalis yang menempati wilayah kerja di Bandung dan sekitarnya. Pokok prinsipil yang mendorong forum ini menyatakan dirinya adalah demi menjunjung etika profesional yang independen dan merdeka bagi profesi jurnalistik yang sehat.
Kami menyimak, bahwa independensi jurnalis itu bertemu, saling terolah dan berkembang dalam tubuh Aliansi Jurnalis Independen yang selama ini sudah berjalan 8 tahun.
Saat ini, hari ke-18 bulan agustus 2002. Kami menyatakan secara resmi, sebagai langkah awal untuk bergabung ke dalam Aliansi Jurnalis Independen.
Selain berhasil mendeklarasikan berdirinya AJI Bandung, saat itu juga membentuk Panitia Konferensi AJI Bandung I. Selanjutnya, dengan dipimpin Nursyawal panitia akan menggelar konferensi pada 15 September 2002. Konferensi yang digelar di Pendopo Toko Buku Kecil memutuskan Nursyawal sebagai Ketua AJI Bandung. Selanjutnya ia akan membentuk kepengurusan.
Sejak itulah gerombolan “Sindikat Jurnalis Muda Berbakat” beralih rupa menjadi Aliansi Junalis Independen (AJI) Kota Bandung.[]