[DIPERPANJANG] Penghargaan Tasrif Award dan Udin Award 2018
AJI Indonesia mengundang Bapak/Ibu maupun Lembaga untuk mengusulkan nama calon penerima Udin dan Tasrif Award 2018. Kami lampirkan TOR untuk menjadi bahan pertimbangan Bapak/Ibu. Pengajuan usulan nama calon paling lambat kami terima tanggal 12 Agustus 2018 melalui email AJI Indonesia: [email protected] atau fax ke nomor (021) 3151261 atau per pos ke AJI Indonesia Jalan Sigura-gura No. 6A, Durentiga, Jakarta Selatan 12760
******
TOR
Tasrif Award dan Udin Award
Latar Belakang Tasrif Award dan Udin Award 2018
Suardi Tasrif, Bapak Kode Etik Jurnalistik Indonesia, semasa hidupnya tak kenal menyerah dalam memperjuangkan kemerdekaan pers. Suardi Tasrif juga gigih memperjuangkan kemerdekaan berpendapat, hak konstitusional yang selalu disebut-sebut sebagai hak fundamental yang menjadi jalan bagi dipenuhinya berbagai hak asasi manusia lainnya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengabadikan namanya sebagai penghargaan bagi perorangan maupun kelompok atau lembaga yang gigih memperjuangkan kemerdekaan pers dan kemerdekaan berpendapat pada umumnya. Penghargaan Suardi Tasrif atau Suardi Tasrif Award, disingkat menjadi Tasrif Award mulai diberikan pada 1998, dan Munir, koordinator Badan Pekerja Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menjadi orang pertama yang menerima Tasrif Award.
Bersama Kontras, Munir memenangi Tasrif Award karena kegigihan mereka dalam mengungkapkan kasus penculikan terhadap para aktivis oleh para anggota Koppasus (Komando Pasukan Khusus) Angkatan Darat Indonesia. Munir kemudian meninggal karena dibunuh di dalam pesawat Garuda dalam perjalanannya menuju Amsterdam, Belanda dari Jakarta, karena tak pernah surut mengungkap berbagai tindakan aparat negara merampas hak asasi warganya.
Selain memberikan Tasrif Award, sejak 1998 AJI Indonesia (bersama-sama Institut Studi Arus Informasi—ISAI) juga membangun tradisi Penghargaan Fuad Muhammad Syafruddin yang kemudian lebih dikenal dengan nama Udin Award. Udin adalah jurnalis Harian Bernas yang dianiaya orang tidak dikenal pada 13 Agustus 1996, dan meninggal tiga hari kemudian. Ia dibunuh karena memberitakan korupsi dan politik uang yang terjadi di Kabupaten Bantul.
Udin Award diberikan kepada jurnalis maupun kelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan. Pada 1997 Udin Award diberikan kepada Tim Kijang Putih, sekelompok wartawan dari berbagai media yang bekerja di Yogyakarta yang gigih melakukan investigasi bersama untuk mengungkap kasus pembunuhan Udin.
Tahun 1998 Udin Award diberikan kepada Bambang Budjono dan Margiono, pimpinan majalah D&R untuk keteguhan mereka dalam menghadapi kekuasan yang tersinggung karena majalah tersebut memuat karikatur "Soeharto Raja Kartu Sekop" pada sampul majalah. Udin Award diberikan setiap tahun sekali bertepatan dengan HUT AJI bersamaan dengan diumumkannya pemenang Tasrif Award.
Penghargaan Tasrif Award dan Udin Award diberikan dalam setiap AJI Indonesia memperingati hari jadinya. Menjelang peringatan hari jadinya ke 24, AJI Indonesia akan kembali menganugerahkan Tasrif Award para pihak yang berjasa memperjuangkan kebebasan berpendapat dan Udin Award bagi jurnalis yang menjadi korban kekerasan terhadap pers.
SASARAN
- Kalangan media massa;
- Lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang penegakan kebebasan pers dan kemerdekaan berpendapat;
- Individu.
TUJUAN TASRIF AWARD 2018
- Mengingatkan masyarakat akan semangat Suardi Tasrif, Bapak Kode Etik Jurnalistik Indonesia, yang semasa hidupnya tak kenal menyerah dalam memperjuangkan kemerdekaan pers dan kemerdekaan berpendapat pada umumnya dan melanjutkan tradisi pemberian penghargaan bagi perorangan maupun kelompok atau lembaga yang tidak kenal menyerah dalam memperjuangkan kemerdekaan pers dan kemerdekaan berpendapat;
- Memberikan penghargaan dan penghormatan kepada mereka yang gigih memperjuangkan hak mengemukakan pendapat/kemerdekaan berpedapat dengan cara-cara yang damai;
- Memberikan penghargaan dan penghormatan kepada mereka telah mendedikasikan dirinya untuk membantu pers dalam mengungkap problem-problem ketidakadilan yang tersembunyi atau disembunyikan;
- Merangsang segenap anggota masyarakat untuk aktif membantu pers dalam mengungkap problem-problem ketidakadilan yang tersembunyi atau disembunyikan;
KRITERIA UMUM TASRIF AWARD 2018
- Individu/kelompok/lembaga yang membantu pers untuk bisa memenuhi hak publik atas informasi;
- Individu/kelompok/lembaga yang membantu pers untuk mengefektifkan fungsi pers sebagai lembaga kontrol sosial;
- Individu/kelompok/lembaga yang membantu pers untuk mengungkap problem ketidakadilan yang tersembunyi atau disembunyikan;
KRITERIA KHUSUS TASRIF AWARD 2018
- Individu/kelompok/lembaga yang mendedikasikan dirinya untuk terlibat dalam proses penegakan nilai-nilai keadilan dan demokrasi;
- Individu/kelompok/lembaga yang terbukti memiliki komitmen dan integritas moral untuk terlibat dalam proses penegakan nilai-nilai keadilan dan demokrasi;
- Individu/kelompok/lembaga yang dalam setahun ini -–terhitung sejak Juni 2017 hingga Mei 2018 – mengungkap kasus ketidakadilan yang memiliki signifikasi sosial, budaya, hukum, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
PERAIH TASRIF AWARD
1997 : Benyamin Mangkoedilaga, Mantan Kepala Pengadilan
Tinggi Tata Negara Jakarta
1998 : KONTRAS
1999 : Indonesian Corruption Watch (ICW)
2000 : Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta
2001 : Baku Bae Maluku
2002 : Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS)
2003 : Andi Samsan Nganro, Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Lin Che Wei, seorang
ahli pasar modal yang membongkar kasus “Penggorengan Saham” PT. LIPPO Group
2004 : Putu Wirata, Ketua Bali Corruption Watch
2005 : Bpk Alm. Prof.Andi Muis, akademisi dan Gordon Bishop dari Joyo News
2006 : Tidak ada
2007 : Dra. Hj. Rustriningsih Msi, Bupati Kebumen dan News Dot Com
2008 : Jaringan Radio Komunitas (JRK) Indonesia dan Vincentia Hanni Sulistyaningtyas (Tyas)
2009 : Khoe Seng Seng, pemilik kios di ITC Mangga 2 yang memperjuangkan hak konsumen melalui surat pembaca
2010 : Onno W. Purbo, seorang penggiat IT (Information Technology)
2011 : Tessa Piper, MDLF Program Director for Asia
2012 : LBH Pers
2013 : Luviana
2014 : Remotivi dan ICT Watch
2015 : Joshua Oppenheimer dan Anonim
2016 : Forum LGBTIQ dan IPT 65
2017 : Aksi Kamisan dan Kartini Kendeng
TUJUAN UDIN AWARD 2018
- Mengingatkan masyarakat akan perjuangan Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin dan melanjutkan tradisi pemberian Udin Award untuk menghormati dan terus memberikan perhatian terhadap jurnalis maupun kelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan, terutama kekerasan yang dilakukan (aparatus) negara pada saat menjalankan tugas jusrnalistiknya;
- Mengingatkan masyarakat akan pentingnya pers yang bebas dan independen sebagai salah satu pilar demokrasi;
- Mengajak masyarakat untuk bersama-sama dengan semua pihak yang peduli dan terus memperjuangkan serta menjaga kebebasan pers dan kemerdekaan berpendapat pada umumnya;
KRITERIA UMUM UDIN AWARD 2018
1. Seorang/sekelompok jurnalis yang konsisten menjalankan kerja-kerja jurnalistik;
2. Seorang/sekelompok jurnalis yang teruji dan terbukti memiliki kemampuan profesional jurnalisitik;
3. Seorang/sekelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis, akibat aktivitas jurnalsitiknya;
KRITERIA KHUSUS UDIN AWARD 2018
1. Seorang/sekelompok jurnalis yang terbukti dan teruji telah mendedikasikan dirinya untuk tugas-tugas jurnalisitik;
2. Seseorang/sekelompok jurnalis yang terbukti dan teruji memiliki komitmen dan integritas moral dalam upaya menegakkan kebebasan pers, demi kebenaran dan keadilan;
3. Seseorang/sekelompok jurnalis yang -–terhitung sejak Juli 2016 hingga Juni 2017– menjadi korban kekerasan, baik fisik maupun psikis, sebagai akibat mengungkap permasalah sosial yang memiliki signifikasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
PERAIH UDIN AWARD
1997 : Tim Kijang Putih
1998 : Bambang Bujono dan Margiono, jurnalis dari Majalah D&R
1999 : Tidak ada Pemenang
2000 : Agus Mulyawan. Fixer – Asia Press-Jepang
2001 : Para Jurnalis Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh
2002 : Tidak ada pemenang
2003 : Alm Ersa Siregar dan Ferry Santoro, Jurnalis dan kameramen RCTI
2004 : Tim Media untuk Pembebasan Fery Santoro di Aceh
2005 : Tidak ada Pemenang
2006 : Tidak ada Pemenang
2007 : Tidak ada Pemenang
2008 : Metta Darmasaputra, Redaktur Investigasi Majalah Tempo
2009 : Jupriadi Asmaradhana, Koordinator Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Makassar
2010 : Budi Laksono, jurnalis yang kehilangan pekerjaannya setelah membentuk dan memotori organisasi serikat pekerja di perusahaan media tempatnya bekerja
2011 : Almarhum Ridwan Salamun, Jurnalis Sun TV, Tual, Maluku Tenggara
2012 : Tidak ada pemenang
2013 : Didik Herwanto, Rian FB Anggoro, Fakhri Robianto
2014 : Tidak ada pemenang
2015 : Tidak ada pemenang
2016 : Tidak ada pemenang
2017 : Tidak ada pemenang
Riwayat Suardi Tasrif
Suardi Tasrif SH, Bapak Kode Etik Indonesia, dikenal sebagai seorang pengacara dan jurnalis besar Indonesia. Lahir pada 3 Juni 1922 di Cimahi, Jawa Barat, 12 km sebelah barat ibu kota Provinsi Jawa Barat, Bandung dan meninggal dunia di Jakarta, 24 April 1991, Tasrif mengawali karirnya sebagai jurnalis pada usia 21 tahun, saat artikel pertamanya, "Kesusasteraan dan Kepahlawanan" dimuat pada harian Pemandangan.
Dari jenis artikel pertamanya terlihat, dunia sastra juga menjadi minat dan perhatiannya. Selain menulis risalah tentang sastra, dia juga menulis cerpen (cerita pendek). Setelah artikel pertamanya itu dimuat, dunia jurnalistik terbuka luas baginya, lebih-lebih setelah Pemimpin Redaksi Harian Cahaya, M. Tabrani, memberikannya kesempatan menulis secara tetap. Kemudian bersama seorang kawannya, Edi Suraedi, Tasrif menerbitkan korannya sendiri, Soeara Indonesia di Jakarta.
Pada 1945, di tengah suasana proklamasi, Tasrif "pulang kampung" ke Bandung untuk melibatkan diri dalam aktivitas jurnalistik radio bersama Abdul Hayi dan Budiman pada radio The Voice of Indonesia. Setahun kemudian, aktivitasnya di radio dilanjutkan di Yogyakarta, yakni pada Radio Suara Indonesia (RSI) yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono IX.
Tasrif merupakan salah seorang dari puluhan wartawan yang melakukan demonstrasi kaum wartawan di Indonesia pada 1953. Saat itu pemerintah bermaksud mengadili pemimpin redaksi harian Pemandangan, Asa Bafaqih. Pemandangan dituduh membocorkan rahasia negara melalui sejumlah pemberitaan tentang rencana pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri dan membuka investasi asing bagi 21 jenis industri baru.
Pada 1965, Tasrif bertemu dengan tokoh besar perfilman Indonesia, Usmar Ismail, yang kemudian mengajaknya kembali ke Jakarta untuk memimpin harian Berita Indonesia. Akan tetapi, mujur tak dapat diraih, tahun itu juga, Berita Indonesia dibredel pemerintah.
Setelah pembredelan itu, Tasrif memutuskan mundur dari dunia jurnalistik lalu beralih profesi menjadi pengacara. Sebagai pengacara, ia aktif menulis berbagai artikel untuk harian Kompas, Abadi, Indonesia Raya. Dua yang disebut terakhir dibredel pemerintah Orde Baru.
Namun ternyata Tasrif tidak dapat dijauhkan dari dunia jurnalistik. Di sela-sela waktunya sebagai pengacara, dia masih sempat mengasuh sebuah rubrik yang ada di Indonesia Raya, yakni rubrik Pers dan Hukum. Indonesia Raya sendiri dalam perspektif sejarah pers di Indonesia menjadi fenomena sangat menarik. Koran yang dipimpin oleh sastrawan-wartawan Mochtar Lubis ini berulang-ulang (sembilan kali) dibredel oleh pemerintah Soekarno pada ujung pemerintahannya. Sejumlah wartawan Indonesia Raya dipenjara antara beberapa hari sampai dengan sebulan. Mochtar Lubis sendiri dipenjara sekitar 9 tahun. Namun hal yang menarik, semasa Orde Baru berkuasa koran yang dikenal lugas dan tajam ini hanya sekali mengalami pembredelan, tetapi itu untuk selamanya, alias harus mati oleh kekuasaan yang berada di bawah rejim Soeharto.
Salah satu jasa besar Tasrif bagi dunia jusrnalistik di Indonesia ialah perannya dalam merumuskan Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sebuah karya yang pada hampir sepanjang sejarah Orde Baru justru dilecehkan bahkan oleh PWI sendiri, terutama ketika PWI menjadi kepanjangan tangan Negara dalam mengatur-atur pers dan para jurnalis. Di PWI Tasrif pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Pers. Namun kemudian dia menyatakan rasa kecewanya atas melencengnya PWI dari misi utamanya, yakni menegakkan kemerdekaan pers.
Tasrif tergolong pekerja keras dengan elan vital yang luar biasa. Kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang dijalaninya pada usia separuh baya dan kesibukannya yang luar biasa merupakan salah satu buktinya. Bagi Tasrif, sekali menekuni sesuatu, hal itu akan dijalaninya dengan segala idealismenya. Oleh karena itu, segera setelah beralih profesi menjadi pengacara, dia dikenal luas karena integritasnya. Salah satu kasus penting yang ditanganinya ialah saat dia membela Hariman Siregar yang diadili dalam kasus Malari 1974.
Di bidang hukum, selain memiliki kantor pengacara sendiri, Tasrif & Associates, Tasrif juga tercatat sebagai pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sebuah yayasan yang menaungi lembaga-lembaga bantuan hukum (LBH-LBH) di Indonesia yang memberikan bantuan hukum struktural yang cukup disegani. Tasrif juga tercatat pernah menjadi Ketua Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), anggota The American Judicateur Sociaty, The International Bar Association, dan The Law Association for Asia and Western Pacific.
Riwayat Fuad Muhhamad Syafruddin
Semasa hidupnya Fuad Muhammad Syafruddin yang dikenal luas dengan nama Udin dan kemudian menjadi simbol korban kekerasan negara sesungguhnya adalah lelaki muda yang "lugu". Akan tetapi meskipun tidak banyak berbeda dengan pemuda desa umumnya, almarhum Udin memiliki keunikan dalam perjalanan hidupnya. Lelaki kelahiran Bantul, Yogyakarta 18 Februari 1963 ini, ketika duduk di bangku kuliah semester III pada Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 1985, mencoba mendaftarkan diri untuk menjadi anggota militer - saat itu ABRI - di Bandung, namun tidak diterima. Pulang dari Bandung dia menjadi tukang batu, membantu ayahnya Duchori yang dikenal dengan nama Wardiman Jenggot.
Pada 1986, Udin melamar kerja sebagai wartawan pada Surat Kabar Harian (SKH) Berita Nasional, harian lokal yang kemudian berubah nama menjadi harian Bernas. Lamarannya diterima dan sejak 1986 dia bekerja sebagai wartawan merangkap agen majalah berbahasa Jawa di bawah group Bernas, Djoko Lodang. Status kepegawaiannya adalah koresponden untuk wilayah liputan Bantul, sebuah kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terletak di sebelah selatan kota Yogyakarta.
Karena sama sekali tidak memiliki pengalaman, Udin harus belajar dari nol. Bernas pun bukan surat kabar kaya, karena itu pula dia bekerja dengan sarana sederhana. Tiap hari dia harus mengayuh sepeda dan hanya kadang-kadang menggunakan sepeda motor ayahnya ketika ayahnya sedang tidak bekerja.
Menjadi koresponden harian lokal, jelas bukan status yang cukup untuk menghidupi apalagi jika sudah berkeluarga. Karena itu setelah menikah dia ikut menjadi agen koran Bernas di wilayahnya. Kecemasan kembali hadir ketika dia mendengar bahwa koran tempatnya bekerja akan melakukan pembenahan manajemen setelah masuknya Kelompok Kompas-Gramedia melalui PT Indopersda. Tetapi lelaki ini justru menunjukkan keuletannya dengan mendirikan studio foto untuk mencari tambahan penghasilan. Belakangan rasa was-was baru berkurang setelah dia masuk dalam daftar wartawan yang terseleksi dalam manajemen baru.
"Status" sudah berubah tetapi watak ulet, berani dan jujur yang tumbuh sejak masa kanak-kanaknya tak berubah. Pengalaman menekuni profesi jurnalis sejak 1986 semakin mengukuhkannya untuk tidak berpikir tentang alih profesi. Dia bangga pada pilihannya. Udin bahkan menyadari bahwa resiko menjadi wartawan tidaklah kecil. Suatu saat, sebagaimana isterinya Marsiyem memaparkan, Udin pernah mengatakan, kalaupun karena profesi ini aku harus mati, aku akan menerimanya.
Kearifan tradisi dan latar belakang keluarga yang kental dengan aktivitas keagamaan bertemu secara positif dengan jiwa Udin dan selanjutnya "menuntun"-nya untuk menjadi jurnalis yang tidak biasa di tengah pola perilaku wartawan kebanyakan yang selama masa penindasan Orde Baru cenderung menjadi "biasa". Udin tampil sebagai jurnalis yang lugas.
Ketika penyakit self cencorship melanda banyak pekerja pers, Udin justru tampil beda. Di tengah represi negara yang terus berupaya menundukkan setiap potensi resisten, Udin melalui tulisan-tulisannya justru tampil sebagai antitesisnya. Dia menjadi watchdog dalam arti sesungguhnya. Salaknya memang hanya ditujukan kepada orang kuat di lingkup lokal. Paling tinggi bupati. Akan tetapi ternyata suasana lokal yang sangat kondusif untuk menimbulkan pelanggaran HAM berkategori berat sebagai imbas kehidupan makro yang amat pengab, membuat hasil kerja Udin sebagai hal yang membahayakan mereka yang digonggongi.
Tulisan Udin yang terus berupaya membongkar berbagai kasus korupsi, manipulasi, dan eksploitasi manusia rakyat oleh manusia pejabat, membuat para petinggi lokal di Bantul marah. Sebelum Udin menghadapi ajal akibat serangan orang tak dikenal di rumahnya, berulang kali beredar isu yang mengarah kepada Udin. Bulan Agustus 1996 beredar isu adanya rapat rahasia di Pemda Bantul yang saat itu bupatinya dijabat oleh seorang militer AD Kolonel Sri Roso Sudarmo. Rapat itu membahas kemungkinan memperkarakan Udin. Bulan Agustus pula, dua jam sebelum peristiwa penganiayaan Udian datang dua orang ke kantor Bernas mencari Udin. Bahkan dalam rapat-rapat di Pemda Bantul selanjutnya selain beredar kabar adanya upaya agar status keanggotaan Udin di PWI dicabut, juga beredar kabar yang menyebutkan bahwa Udin harus dihabisi.
Pada 13 Agustus 1996, Selasa siang, Udin dianiaya oleh orang tak dikenal hingga ajalnya di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Dalam sekejap kematian Udin menjadi perhatian dunia. Apalagi kemudian dalam pengadilan kasusnya kemudian melahirkan sandiwara besar yang memakan korban pihak lain yang tak tahu menahu tetapi kemudian ternyata diputus bebas oleh pengadilan. Sampai sekarang, kasus pembunuhan Udin belum terungkap.
Download Formulir Pencalonan Udin dan Tasrif Award 2018 disini